BALIKPAPAN—Keluarga Besar Universitas Balikpapan melaksanakan Sholat Idul Fitri yang digelar di Masjid Amirulhaq Uniba, Jumat (21/04/2023). Hadir pada pelaksanaan Sholat Idul Fitri ini diantaranya Rektor Universitas Balikpapan Dr. Ir. H. Isradi Zainal. Ketua Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Amirulhaq Uniba Dr. H. Sugianto. Serta Ustadz Dr. Fahmi Salim Zubair, Lc. M.A selaku khatib dan Imam adalah Andi Juardi.
Sebelum dilaksanakannya Sholat Idul Fitri, acara dimulai dengan Sambutan Wali Kota Balikpapan yang dibacakan oleh Rektor Uniba. Dihadapan jemaah, Rektor Uniba menyampaikan, hari ini merupakan momentum sukacita umat Islam dalam menyambut Idul Fitri. Setelah selama sebulan penuh menjalankan ibdah puasa di bulan Ramadhan. Idul Fitri bermakna kembali kepada kondisi fitrah, yakni kondisi awal penciptaan manusia. Dalam Alquran Surat Arrum ayat 30 Allah berfirman yang artinya “Maka Hadapkanlah Wajahmu Dengan Lurus Kepada Agama Allah (Tetapkan Atas) Fitrah Allah yang Telah Menciptakan Manusia Menurut Fitrah Itu”.
Lebih lanjut Rektor Uniba menyampaikan, ucapan terimakasih Wali Kota Balikpapan kepada seluruh umat muslim di Balikpapan yang sudah membayarkan zakat, termasuk zakat fitrah, infak dan sedekahnya. Adapun di tahun 2022 yang lalu, jumlah zakat yang terkumpul mencapai 3,8 miliar Rupiah. “Sedangkan untuk tahun 2023 ini, Baznas Kota Balikpapan sudah mencanangkan pengumpulan zakat di Kota Balikpapan sebesar 10 miliar Rupiah. Kita doakan, insya Allah, target ini bisa dicapai, bahkan terlewati. Amin yaaa Rabbal Alamin,” ujar Rektor Uniba saat membacakan sambutan wali Kota Balikpapan.
Rektor Uniba secara pribadi juga menyampaikan, momentum perayaan Idul Fitri 1444 Hijriah ini, beliau berpesan untuk selalu menjaga kesucian, kemudian kembali ke Fitri, saling memaafkan, menjaga persatuan, silahturahmi, sinergi dan kolaborasi. Serta berupaya bermanfaat bagi masyarakat.
Usai membacakan sambutan Wali Kota Balikpapan, acara masuk ke acara inti, yaitu khotbah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Fahmi Salim Zubair, Lc. M.A. Dalam khotbahnya beliau menyampaikan, di tengah-tengah umat muslim bergembira memanjatkan syukur ke hadirat Allah, mengagungkan dan asma Allah dengan penuh kegembiraan tanpa kurang satu apa pun. Namun masih ada saudara-saudara seiman di belahan dunia yang lainnya yang terancam kelaparan, yang terancam di tengah-tengah konflik kemanusiaan, bahkan di tengah-tengah penjajahan seperti yang terjadi di Palestina.
“Kita bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin untuk saudara-saudara kita, umat Islam di Palestina. Mereka para murābithūn, mereka yang senantiasa ribath menjaga Masjid Al-Aqsha—kiblat pertama umat Islam dan tanah suci yang diberikan oleh Allah swt kepada nabi kita, Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam, dalam peristiwa Isrā`-Mi’raj—untuk melanjutkan misi dakwah para nabi dan rasul sebelumnya. Kita berterima kasih kepada Muslimin Muslimat yang ada di Bait Al-Maqdis, yang telah mewakili kehadiran kita, yang telah mewakili keberadaan kita untuk membela kesucian Masjid al-Aqsha. Merekalah garda terdepan umat Islam dalam melindungi Masjid Al-Aqsha dari segala macam penodaan, dari segala macam kehinaan yang ditimpakan oleh bangsa Israel yang dilaknat dan dikutuk oleh Allah swt,” ujar Ustadz Fahmi Salim Zubair.
Lebih lanjut beliau menyampaikan dalam khotbahnya, hikmah ibadah puasa (ash-shaum) di bulan suci Ramadhan adalah menahan diri (alimsak) dari perbuatan dosa dan hina agar menjadi pribadi yang beriman dan mulia. Beliau mengajak jemaah agar menjadikan Ramadhan sebagai “madrasah” untuk melahirkan generasi bangsa Indonesia yang semakin mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri dan golongan. Ramadhan sebagai spirit dan inspirasi bagi praktik bernegara yang religius, tangguh, berintegritas dan profesional (clean and good governance). Mengedepankan kerukunan dan harmoni di atas nafsu pertentangan dan permusuhan (al-’adawah wal baghdha’). Meneladankan gaya hidup sederhana, menjauhi perilaku pamer kekayaan dan hedon, menjauhi gaya hidup berlebihan (al-israf) dan tidak halal. Serta melahirkan jiwa kedermawanan dan suka menolong orang lain, khususnya orang lemah (dhu’afa) sebagaimana tujuan puasa yaitu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub ilallah) dan mengandung hikmah membentuk pribadi yang bertakwa kepada Allah Swt.
Ustadz Fahmi Salim Zubair melanjutkan dalam khotbahnya, Prof. Dr. H. Mohammad Rasjidi, mantan Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, dalam artikelnya di harian Abadi tanggal 20 Agustus tahun 1973, mengkritik keras draf Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diinisiasi oleh pemerintah Orde Baru. Di pasal 10 ayat 2 RUU ini disebutkan bahwa perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang bagi perkawinan. Pasal dalam RUU ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, kendatipun mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Islam tidak membatasi perkawinan berdasarkan geografi, etnis, suku dan bangsa. Islam hanya mengecualikan satu, harus ada yang dibatasi, yaitu tidak terlanggarnya aturan-aturan Allah di dalam keluarga. Hal ini supaya pendidikan tauhid senantiasa terjaga di dalam keluarga. “Kita bisa bayangkan bagaimana kalau ada perkawinan beda agama? Bisakah anak-anak kita, keluarga kita menjaga fitrah tauhidnya di hadapan Allah swt?,” ujarnya.
Di penghujung khotbahnya, Beliau berpesan, disinilah pentingnya umat Islam menghadirkan ketakwaan bukan hanya dalam tataran individu, tapi juga dalam lingkup masyarakat dan bernegara dengan terbentuknya tatanan hukum dan perundang-undangan yang sesuai dengan maqasid syariah dan tidak melanggar prinsip syariah. Ketakwaan individu hanya akan bisa langgeng dan tegak manakala aturan bermasyarakat dan bernegara melindungi nilai-nilai ketakwaan itu dengan aturan etik dan hukum yang tegas melindungi hak umat beragama, meyakini dan menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan di negeri yang tercinta ini.
HUMAS UNIVERSITAS BALIKPAPAN