Bersama Bid Humas Polda Kaltim, Ratusan Mahasiswa Uniba Ikuti Sosialisasi PPKS


BALIKPAPAN—Universitas Balikpapan bekerjasama dengan Bid Humas Polda Kalimantan Timur menggelar Sosialisasi Sinergitas Kepolisian dan Perguruan Tinggi dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) yang berlangsung di conference room Kampus uniba, Selasa (30/04/2024).

Hadir pada acara ini diantaranya Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Artanto, SIK, M.Si. Kasubbid Penmas Bidhumas Polda Kaltim AKBP Nyoman Wijana, S.Ag, Wakil Rektor Bidang Admisi, Humas, Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Balikpapan Ir. Rahmat Rusli ST. MT. Dr. Indrayani M.Pd, dan Dr. Nurlia SE. MM., selaku narasumber. Serta seratus mahasiswa dari perwakilan 23 Ormawa yang ada Universitas Balikpapan.

Ir. Rahmat Rusli ST. MT., dalam sambutannya menyampaikan kepada mahasiswa yang hadir agar para mahasiswa menyimak sebaik mungkin dan pro aktif dalam mengikuti kegiatan ini. Ia juga menyampaikan, apabila ada mahasiswa Uniba mengalami kekerasan seksual baik pria maupun wanita silakan melaporkan ke Satgas PPKS yang telah dibentuk belum lama ini di Universitas Balikpapan. “Jadi adik-adik mahasiswa jangan takut untuk melapor ke Satgas PPKS jika mengalami kekerasan seksual secara non fisik, fisik walaupun itu secara verbal. Dan jangan khawatir bagi korban yang melapor ke Satgas PPKS, indentitasnya akan dirahasiakan. Dan kita akan lindungi kalian bagi yang melapor ke Satgas PPKS,” ujar Ir. Rahmat Rusli.

Usai menyampaikan sambutannya, acara dilanjutkan dengan sambutan Kombes Pol Artanto, SIK, M.Si. Menurutnya, jumlah kasus kekerasan seksual yang ada di Provinsi Kalimantan Timur mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam 4 tahun belakangan ini. Berdasarkan data dari sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak, terjadi lonjakan penghimpunan kasus pada tahun 2023 mencapai 1.108 kasus. Atau lebih banyak 163 kasus dibanding tahun 2022.

Lebih lanjut Kombes Pol Artanto, menyampaikan, berdasarkan data tersebut kekerasan pada perempuan harus ditangani secara serius. Serta memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Mulai dari keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, dunia usaha, lembaga pemerintahan, mulai dari kelurahan, kecamatan hingga kabupaten kota. “Ketika terjadi kekerasan, penanganannya juga diperlukan dari semua pihak. Baik kolaborasi, koordinasi dan aksi sebagai sebuah tim yang dapat melindungi dan memberikan hak-hak para korban dan saksi. Serta penegakan hukum bagi pelakunya,” ujar Alumni Akpol Tahun 1994 tersebut. 

Diharapkan dengan digelarnya acara ini ada sinergitas kepolisian dan Universitas Balikpapan dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual untuk memberikan edukasi agar dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual dengan turut aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman di lingkungan kampus. “Jadikanlah kegiatan sosialisasi ini sebagai pedoman dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, khususnya di kampus Universitas Balikpapan,” pungkasnya.

Usai menyampaikan sambutannya, acara dilanjutkan dengan penukaran cindera mata antara Universitas Balikpapan dengan Kabid Humas Polda Kaltim yang dilakukan oleh Ir. Rahmat Rusli ST. MT., dengan Kombes Pol Artanto, SIK, M.Si., Kemudian dilanjutkan dengan foto bersama.

Usai melakukan sesi foto bersama, acara dilanjutkan ke acara inti, yaitu pemaparan dari Dr. Indrayani M.Pd tentang kekerasan seksual. Menurutnya definisi kekerasan seksual itu adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan atau menyerang tubuh, atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa atau gender, yang dapat berakibat penderitaan psikis dan fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang memiliki kesempatan dalam melaksanakan pendidikan bahkan kehidupan dengan aman dan optimal.

Jenis-Jenis kekerasan seksual menurut Dr. Indrayani adalah secara verbal, seperti menyampaikan kata-kata yang merendahkan atau mendiskriminasi terkait dengan penampilan fisik, kondisi tubuh, atau identitas gender korban, mengucapkan kalimat yang berisi rayuan, lelucon, atau siulan dengan nuansa seksual kepada korban.

Selain kekerasan seksual secara verbal, ada pula kekerasan seksusal secara non fisik. Meliputi tindakan yang bersifat nonfisik namun bertujuan untuk menyerang seksualitas korban. “Contohnya, menatap korban dengan cara yang tidak senonoh. Mengirimkan pesan, gambar atau video melalui hand phone yang bersifat seksual tanpa persetujuan korban. Menguntit korban serta memasang kamera tersembunyi di tempat pribadi korban,” ujar alumni Doktoral Universitas Negeri Malang tersebut.

Selanjutnya Dr. Indrayani juga menyebut, selain kekerasan seksual secara verbal dan non fisik. Ada pula kekerasan seksual secara fisik. Yaitu bersifat seksual yang dilakukan tanpa persetujuan korban. Seperti menyentuh, meraba, atau mencium korban tanpa persetujuan.

Begitu pula dengan dampak kekerasan seksual itu, menurut Dr. Indrayani korban akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Depresi. Ketakutan. Mimpi buruk. Begitu pula bagi pelaku kekerasan seksual untuk melakukan pelecehan seksual, dikarenakan riwayat masa kecil yang mengalami pelecahan fisik, seksual atau emosional. Lingkungan keluarga yang tidak mendukung secara emosional. Hubungan orang tua dan anak yang buruk, khususnya dengan ayah. Pergaulan dengan teman sebaya yang agresif secara seksual, hipermaskulin dan nakal.

Lebih lanjut Dr. Indrayani menyampaikan, Untuk itu, saat ini di setiap kabupaten kota terdapat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2A) yang merupakan lembaga yang memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Lembaga ini akan membantu korban kekerasan dan pelecehan seksual dalam menyelesaikan kasus tersebut. Korban juga dapat melaporkan kekerasan seksual pada Satgas PPKS Universitas Balikpapan. “Satgas PPKS ini baru saja terbentuk. Maka silakan teman-teman sekalian jika mengalami kekerasan seksual, baik verbal, non fisik bahkan sampai ke fisik, silakan lapor ke Satgas PPKS. Dan jangan khawatir bagi pelapor dijamin kerahasiaannya,” pungkas Dr. Indrayani.

Setelah Dr. Indrayani menyampaikan paparannya, acara dilanjutkan dengan paparan selanjutnya dengan narasumber Dr. Nuslia SE. MM. Dalam materi yang disampaikannya, Definisi Kekerasan menurut Permendikbud Pasal 1, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Begitu pula pada Pasal 1, Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 menyebutkan bahwa, kekerasan adalah setiap perbuatan, tindakan, dan atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental. "Bahkan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan atau bentuk kerugian lain yang sejenis," ujar Dr. Nurlia. 

Selanjutnya dr. Nurlia menyampaikan, mengapa topik tentang kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi menjadi penting untuk dibahas. Berdasarkan riset dan berita survei dan data, 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus (Ditjen Diktiristek, 2020) dan ada 88% dari total kasus kekerasan di lembaga pendidikan yang diadukan ke Komnas Perempuan tahun 2015 hingga tahun 2021 merupakan kasus kekerasan seksual. "Kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan dari tahun 2015 hingga tahun 2021, tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi 35%. Ke dua pendidikan berbasis agama 19%. Ke tiga tingkat SMA/SMK 15%. Ke empat tingkat SMP 6% dan yang ke lima di tingkat  TK, SD, SLB 9%," ujar Dr. Nurlia lagi.

Menurut Dr. Nurlia, garis besar Permendikbudristek PPKS, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi berupaya dengan sasaran, yang pertama adalah pemenuhan hak pendidikan setiap WNI, Permendikbudristek PPKS adalah salah satu upaya untuk memenuhi hak setiap WNI atas pendidikan tinggi yang aman. Ke 2 adalah penanggulangan krkerasan seksual dengan pendekatan institusional dan berkelanjutan. Substansi Permendikbudristek PPKS memberi kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas. Ke 3 adalah peningkatan pengetahuan tentang kekerasan seksual. Dengan demikian seluruh kampus di Indonesia menjadi semakin teredukasi tentang isu dan hak korban kekerasan seksual. Dan yang ke 4 adalah penguatan kolaborasi antara Kemendikbudristek dan perguruan tinggi, semangat kolaboratif antara kementerian dan kampus-kampus dalam menciptakan budaya akademik yang sehat dan rasa aman akan semakin kuat.

HUMAS UNIVERSITAS BALIKPAPAN