Active Citizen : Peran Orang Muda Dalam Mengisi Kemerdekaan


Oleh : Venna Puspita Sari 

Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Balikpapan 

Sebagai negara yang telah merdeka sejak 78 tahun silam, Indonesia masih memiliki masalah serius dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam menjalankan amanat undang-undang yakni menjadi negara yang demokratis.

Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir merupakan permasalahan serius bagi masyarakat sipil. Laporan terbaru dari The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat bahwa peringkat skor indeks demokrasi Indonesia secara global pada tahun 2022 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, dari peringkat ke-52 menjadi ke-54 dengan skor keseluruhan 6.71. Dengan demikian, EIU mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan sistem demokrasi yang catat berdasarkan 5 (lima) indikator penilaian utama, yakni proses pemilu dan pluralisme; fungsi pemerintah; partisipasi politik; budaya politik, dan kebebasan sipil. Dalam artikel ini, penulis ingin berfokus pada salah satu indikator, yakni partisipasi politik.

Sebagai konsekuensi atas negara demokrasi, Indonesia harus menyediakan ruang publik untuk rakyat agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik. Minimnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan negara demokrasi. Untuk itu, warga negara perlu diedukasi secara komprehensif terkait literasi demokrasi. Indonesia sendiri telah menyelenggarakan Pendidikan Kewarganegaraan yang telah ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya mata pelajaran ini, warga negara Indonesia diharapkan memiliki pemahaman yang baik tekait perannya sebagai warga negara, sehingga dapat mengimplementasikannya kedalam kegiatan sosial, mengkritik pekerjaan pemerintah, dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik.

Namun, skor indeks demokrasi Indonesia menunjukkan bahwa praktik Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah bahkan universitas belum mampu meningkatkan minat masyarakat secara signifikan untuk berpartisipasi dalam politik. Kegiatan politik masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat, yang dimana hanya dapat diakses oleh kaum elit. Asumsi ini terjadi karena adanya penyempitan makna politik di masyarakat awam, yang menganggap hak politik hanya terbatas pada hak suara saat pemilu berlangsung. Padahal, setiap warga memiliki hak dasar politik yang sama, seperti hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul, dan hak berserikat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dengan demikian, perlu dianalisis kembali konsep dan praktik Pendidikan Kewarganegaraan yang diterapkan di Indonesia selama hampir 8 (delapan) dekade ini, dimana para peserta didik yang menjadi focus utama dalam pelaksanaannya.

Konsep good citizens dari berbagai perspektif

Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia memiliki visi besar yakni untuk menciptakan warga negara yang baik (good citizens). Perlu diketahui bahwa sejarah kolonial di Indonesia telah mempengaruhi konsep good citizens Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah Belanda mendorong pembentukan kelas elit dan pribumi untuk bertindak sebagai perantara penguasa Belanda dan penduduk pribumi (Anderson, 2018). Dengan demikian, konsep good citizens dikaitkan dengan pendidikan dan kemampuan berbahasa Belanda yang dipandang sebagai tanda kemajuan dan modernitas. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, para pemimpin baru Indonesia menekankan pada nasionalisme dan persatuan, sebagaimana tercermin dalam semboyan nasional yakni “Bhinneka Tunggal Ika”.

Di sisi lain, konsep good citizens menurut Crick dan Lockyer (2010) menekankan warga negaranya untuk menjadi warga negara yang baik dengan cara-cara konservatif, seperti mematuhi hukum, berperilaku baik dan sopan, menjadi tetangga yang baik, dan secara umum dapat disimpulkan dengan mengesampingkan ruang public, yang merupakan wadah masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Dalam perspektif ini, tidak mengherankan jika output dari Pendidikan Kewarganegaraan yang menganut konsep good citizens menjadi cenderung “baik” versi penguasa, dengan menaati aturan-aturan yang dibuat oleh para penguasa yang terkadang belum bisa dimaksimalkan untuk mensejahterakan rakyat.

Hal ini menunjukkan bahwa konsep good citizens memiliki konotasi politik yang menghasilkan stabilitas status quo (Pykett dkk., 2010). Dimensi normatif ini membatasi kebebasan sipil dalam menciptakan nilai-nilai demokrasi di antara masyarakat untuk mencapai tingkat kedaulatan tertinggi. Sebagai DNA demokrasi, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran penting dalam mempengaruhi partisipasi politik. Oleh karena itu, orientasi pendidikan kewarganegaraan di Indonesia perlu mempertimbangkan konsep active citizens yang telah berhasil mengantarkan Norwegia, Finlandia, dan Australia untuk menjadi negara yang demokratis.

Membangun active citizens di Indonesia

Active citizens diperlukan agar masyarakat demokratis dapat berfungsi dengan baik di lingkungannya. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk memiliki suara dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan meminta pertanggungjawaban pemerintah atas pelayanan publik yang baik. Disamping itu, negara dengan skor demokrasi tinggi seperti Inggris juga telah menjadikan active citizens sebagai tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang dimuat dalam kurikulum nasionalnya (Ross, 2008), sehingga ini bukanlah hal baru. Lebih lanjut, dalam konsep active citizens, diperlukan partisipasi masyarakat dalam kehidupan publik yang mau bekerja secara kolaboratif dengan orang lain untuk memecahkan masalah bersama (Westheimer & Kahne, 2004). Sehingga, penerapan konsep active citizens pada masyarakat Indonesia melalui pendidikan tentunya berpotensi untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan warga, khususnya orang muda, untuk aktif di ruang publik.

Active citizens juga mempromosikan kohesi sosial dan membantu dalam pengembangan komunitas yang kuat dan berdaya. Terdapat tiga hal yang menjadi keutamaan dalam praktik active citizens yang dapat diterapkan oleh orang muda Indonesia dalam rangka mengisi kemerdekaan, yakni kegiatan volunteering, partisipasi politik, dan organisasi masyarakat. Masyarakat sipil tentunya akan mendapatkan beragam manfaat dari konsep ini. Sebagai contoh, penelitian oleh Piliavin dan Siegl (2007) mengungkapkan bahwa melakukan kegiatan volunteering memiliki keterkaitan dengan peningkatan tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa negara dengan skor indeks demokrasi tinggi seperti Kanada, dimana masyarakatnya sudah memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya kegiatan volunteering. 

Selanjutnya, partisipasi politik juga dikaitkan dengan peningkatan pengetahuan dan keberhasilan politik (Delli Carpini & Keeter, 1996). Tentunya, hal yang ditekankan disini adalah keterlibatan orang muda dalam segala tahap dalam membuat suatu kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga ikut serta dalam pelaksanaan keputusan tersebut. Oleh karena itu, literasi demokrasi harus menjadi pengetahuan dasar bagi seluruh warga untuk mencapai keberhasilan politik. Terakhir, pengorganisasian masyarakat telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan mempromosikan perubahan sosial (Minkoff, 2002). Gerakan kolektif yang dilakukan oleh orang muda untuk menentang rezim tertentu merupakan salah satu perwujudan active citizens pada masyarakat yang dinamis. Orang muda tidak hanya menerima dengan pasrah kebijakan dari pemerintah, namun juga aktif dalam mengkaji dan mengkritik kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan umum.

Dengan kata lain, active citizens merupakan konsep yang mencakup keterlibatan aktif warga dalam komunitasnya dalam berbagai cara, termasuk partisipasi politik, sosial, dan ekonomi. Individu dan masyarakat mendapat manfaat dari keterlibatan ini dalam berbagai cara, termasuk pemenuhan pribadi, pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan pengembangan komunitas yang berdaya. Oleh karena itu, pergeseran paradigma dari good citizens menuju active citizens sangat penting untuk kelangsungan demokrasi Indonesia yang lebih sehat. Pada momentum kemerdekaan ini, penulis berharap agar orang muda di Indonesia dapat menyebarluaskan dan menerapkan konsep active citizens, tentunya dengan dukungan dari lembaga publik, masyarakat sipil, dan individu itu sendiri. Merdeka!